1. HOME
  2. NEWS
NEWS

Ketika Praktik 'Mafia Kasus' Mendarah Daging di Mahkamah Agung

Kasus suap yang melibatkan pegawai maupun pejabat Mahkamah Agung telah sering terjadi. Namun, tak juga ada yang jera.

By Dwifantya Aquina 19 Februari 2016 14:48
Gedung Mahkamah Agung di Jakarta Pusat (Merdeka.com)

Money.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap tangan seorang pejabat Mahkamah Agung karena diduga menerima suap dari seorang pengusaha agar menunda salinan putusan kasasi perkara korupsi pembangunan pelabuhan di Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008 dengan terdakwa Ichsan Suaidi.

Selain Ichsan, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Kasubdit Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna dan pengacara Awang Lazuardi Embat.

Ketiganya ditangkap dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat 12 Februari 2016, sekitar pukul 22.30 WIB.

Pejabat MA Andri Tristianto Sutrisna ditangkap KPK dengan bukti segepok uang dari terpidana korupsi Ichsan Suaidi. Andri diminta menahan putusan pidana agar tidak segera dikirim ke pengadilan supaya Icshan tidak segera dieksekusi.

KPK mengamankan uang sejumlah Rp400 juta dalam pecahan uang Rp100.000. Uang Rp400 juta tersebut ditemukan bersama uang lainnya dalam satu koper terpisah. Namun, KPK belum menaksir jumlah uang dalam koper lain tersebut.

"Uang Rp 400 juta tersebut berkaitan dengan salinan putusan kasasi," ujar Kepala Bagian Informasi dan Pemberitaan KPK, Priharsa Nugraha.

Andri merupakan Kepala Subdit Perdata MA. Ia membawahi perkara perdata yang masuk ke MA dan keluar MA, baik tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK).

Kasus tertangkap tangannya pejabat MA ini tentunya menambah daftar panjang pejabat-pejabat MA yang telah berhasil diungkap oleh KPK karena terlibat dalam kasus korupsi.

Atas perbuatannya, Andri disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara terhadap Ichsan dan Awang disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Kasus Suap MA Bukan yang Pertama

Kasus suap yang melibatkan pegawai maupun pejabat Mahkamah Agung bukan pertama kalinya terjadi. Praktik suap untuk 'melicinkan' kasus sudah berulang kali terjadi di lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ini.

Salah satunya kasus yang menjerat nama pengacara dan mantan hakim tinggi Harini Wiyoso serta nama beberapa pegawai Mahkamah Agung, seperti Pono Waluyo (staf bagian kendaraan MA) pada 2005 lalu.

Kala itu, KPK menggeledah gedung MA dan menangkap Harini dan Pono dkk serta menyita uang sebesar US$500 ribu.

Dari pengakuan Harini dan Pono dkk, uang US$ 500 ribu akan digunakan untuk memuluskan kasasi pengusaha Probosutedjo dalam kasus korupsi dana reboisasi di Kalimantan Selatan senilai Rp100,9 miliar. Tidak cukup sampai di situ, dalam perkembangan berikutnya, Probosutedjo mengakui bahwa dia telah menghabiskan Rp16 miliar demi mendapat vonis bebas.

Perinciannya adalah Rp10 miliar pada peradilan tingkat pertama dan banding serta Rp6 miliar pada tingkat kasasi. Di tingkat kasasi, Probosutedjo mengaku dimintai uang oleh Harini Wiyoso sebesar Rp5 miliar untuk diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan dan Rp1 miliar untuk pegawai MA.

Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch, ada sejumlah modus jual-beli perkara di pengadilan, yaitu menentukan (rekayasa) majelis hakim, tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara atau mengulur waktu penetapan perkara, menunda eksekusi, dan memakai pengacara tertentu. Dalam kasus yang sedang dibahas, mulai terlihat modus lain, yaitu menawarkan putusan palsu.

Selain modusnya beragam, menurut laman antikorupsi.org, praktik jual-beli perkara melibatkan kalangan yang lebih luas. Setidaknya, dalam kasus yang baru digeledah KPK, secara jelas tampak keterlibatan pengacara dan pegawai MA yang tidak terkait langsung dengan proses perkara.

Dalam kasus kasasi Probosutedjo, kalangan pegawai yang terlibat amat beragam, dari anggota staf Direktorat Perdata MA, bagian kepegawaian MA, staf bagian kendaraan MA, dan staf Korpri MA. Bisa jadi, kalau ditelusuri lebih jauh, sangat mungkin ada keterlibatan kalangan lain di luar pengacara dan pegawai.

Dalam konteks penelusuran praktek jual-beli perkara di pengadilan, kasus kasasi Probosutedjo punya dimensi yang jauh lebih luas dan menarik. Soalnya, beberapa orang yang sudah memberikan keterangan di KPK mulai menyebut keterlibatan hakim. Setidaknya, dari keterangan Probosutedjo, Rp5 miliar dari uang yang diminta Harini akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan.

Ketika beberapa orang yang dimintai keterangan oleh KPK mulai menyebut hakim, kasus suap yang terjadi di MA sedang memasuki babak baru. Sebab, pengungkapan kasus ini akan menjadi titik penting untuk mengetahui keterlibatan hakim dalam proses jual-beli perkara di pengadilan. Bagaimanapun, banyak kalangan meyakini, sangat mungkin sebagian hakim menjadi aktor dalam jual-beli perkara di pengadilan. Keterlibatan hakim bisa saja terjadi di semua jenjang pengadilan, dari pengadilan tingkat pertama sampai hakim di tingkat kasasi.

 

(da/da)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From News Section