1. HOME
  2. NEWS
NEWS

Penolakan Revisi UU KPK Semakin Kuat, Apa Sikap Presiden?

"Presiden harus segera bersikap untuk menghentikan polemik ini, karena sudah jelas revisi bertujuan untuk melemahkan KPK."

By Dwifantya Aquina 18 Februari 2016 12:45
Presiden Joko Widodo bersama Juru Bicara Presiden, Johan Budi SP (Setkab.go.id)

Money.id - Penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, semakin kuat. Penolakan tersebut bukan hanya datang dari beberapa fraksi partai di DPR RI, namun juga oleh pegiat antikorupsi maupun akademisi.

Mereka mendesak pemerintah menolak revisi UU KPK oleh DPR yang dianggap justru akan memperlemah KPK.

Sejumlah poin yang dianggap akan memperlemah lembaga antikorupsi antara lain pembentukan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan SP3, dan pengaturan kewenangan penyadapan.

Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran, Komariah Emong mengatakan, UU KPK tidak perlu direvisi. Karena revisi UU KPK justru dapat memperlambat kinerja komisi antirasuah itu.

"Termasuk penyadapan tidak perlu dipersoalkan, karena dengan kewenangan itu, mudah-mudahan KPK dapat mengungkap lebih banyak kasus suap, gratifikasi, termasuk perbuatan perencanaan korupsi. Pengungkapan kasus-kasus suap akhir-akhir ini tidak terlepas dari penelusuran lewat penyadapan dan hasilnya sangat memuaskan," kata Komariah.

Komariah menilai, instansi lain yang punya kewenangan serupa hingga saat ini masih kurang 'greget'. "KPK masih cukup kuat dengan UU yang sekarang ada," ujarnya.

Penolakan revisi UU KPK juga datang dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Profesor Hibnu Nugroho. Ia mengatakan, untuk membatalkan rencana revisi, bergantung pada Presiden Jokowi. Sesuai janji saat kampanye yang akan memperkuat KPK, maka presiden bisa menolak revisi karena substansinya justru melemahkan wewenang KPK.

"Suatu RUU baru bisa disahkan DPR jika mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden (Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945)

Revisi UU KPK itu perlu karena perubahan itu sebuah keniscayaan, tapi tidak perlu dilakukan sekarang, karena kondisi sekarang serba tidak kondusif baik dari tataran politik, tataran birokrasi, dan penegakan hukum," ujar Hibnu.

Menurut dia, KPK sekarang dalam keadaan masih cukup mampu dalam menyelesaikan suatu masalah. Jadi biarkan bekerja dulu.

Sementara, terkait penyadapan, Profesor Hibnu juga punya pandangan sendiri. "Kita harus sepakat dulu bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, kalau memang kejahatan luar biasa, berarti penanganannya harus ekstra pula dan melewati batas. Lagipula, penyadapan KPK juga ada audit dan evaluasi internalnya. Kalau diatur, nanti sama seperti penyadapan biasa, padahal spirit awalnya untuk menanggulangi kejahatan luar biasa, penanganannya sudah harus ekstra," paparnya.

Pembahasan revisi UU KPK oleh DPR RI ini juga ditentang oleh Profesor Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Menurut Rhenald, revisi UU KPK rentan dengan kepentingan politik.

"Janganlah kita berpura-pura tidak mengerti bahwa Revisi UU KPK penuh muatan yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. KPK perlu diperkuat bukan dikebiri. Stop kebrutalan politik dengan menghentikan niat suci bangsa memberantas korupsi," tegasnya.

Presiden Cermati Penolakan

Juru Bicara Presiden Johan Budi mengatakan, Presiden Jokowi mencermati penolakan revisi UU KPK dan akan menolak jika isinya melemahkan KPK.

“Dari substansinya jangan ada pasal-pasal yang kemudian direvisi itu intinya jadi memperlemah. Saya ambil contoh di revisi misalnya ada KPK hanya dibatasi 12 tahun, itu memperlemah, kewenangan penuntutan dicabut dan penyadapan harus izin pengadilan, nah itu dalam prespektif presiden adalah memperlemah," kata Johan dalam keterangan pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu 17 Februari 2016.

Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan menarik diri dari pembahasan revisi Undang-undang KPK di DPR apabila draf revisi terbukti melemahkan KPK. Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan KPK membutuhkan pengawasan dan tidak bertujuan untuk melemahkan KPK.

Tetapi, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto mengatakan presiden harus segera bersikap untuk menghentikan polemik ini, karena sudah jelas revisi bertujuan untuk melemahkan KPK.

“Apakah hari ini belum kelihatan memperlemah, discourse dipublik sudah jelas, rancangan sudah jelas, jadi sebaiknya segera rumuskan sikap karena tidak bisa menunda lagi," kata Bambang.

"Kita masih punya urusan lagi sehingga energi kita bisa digunakan untuk urusan yang lain. Pimpinan KPK itu dipilih oleh DPR ketuanya, MA, MK, BPK Komisi Yudisial, kenapa sih DPR terlalu baik hati banget sama KPK, memilih ketua KPK, kok lembaga lain enggak. Itu kan diskriminatif. KPK diistimewakan dalam tanda kutip, tetapi dilemahkan dalam tanda kutip,” jelas Bambang.

Revisi UU KPK sebenarnya sudah beberapa kali diajukan. Pada tahun 2012, Fraksi di Badan Legislasi DPR menyepakati untuk menghentikan pembahasan rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemerintah pernah menyampaikan inisiatif untuk merevisi UU KPK tetapi batal karena penolakan publik.

Dan awal tahun ini, sejumlah fraksi di DPR mengusulkan revisi RUU KPK menjadi draf inisiatif DPR.

Rapat paripurna membahas revisi UU KPK sedianya dilakukan hari ini, Kamis 18 Februari 2016, namun ditunda karena hanya ada satu pimpinan dewan yang bisa hadir, sementara empat lainnya tengah melakukan dinas.

(da/da)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From News Section