1. HOME
  2. NEWS
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jalan Perubahan Jokowi

Bangun infrastuktur. Bergurau terbahak bersama. Mendengar kemarahan dan bisikan orang kecil. Dan, kitapun melihat wajah baru Indonesia.

By Wens 27 Agustus 2019 17:26
Presiden Jokowi

Money.id - Holtekamp. Jangan terkecoh. Melafal kata itu kebarat-baratan. Dengan lidah sedikit ditekuk. Itu bukan nama dari negeri jauh. Bukan kosa kata dari negeri kelahiran Dua Lipa, yang berdarah Albania dan membuat generasi belia kita kian keranjingan dengan gendre “dark pop.”

Holtekamp. Itu nama dari tepi timur. Dari sebuah pantai membisu berpasir abu. Nyiur melambai dari bibir  pantai. Dan pada setiap senja musim kemarau, kita bisa melihat pantulan lembayung, kemerahan merayap di gulungan ombak. Berperahu satu jam setengah dari kota.   

Jika nama itu kemudian jadi pembuka tulisan ini, itu karena dia mewakili dari apa yang kita nikmati berbilang tahun belakangan; perubahan. Dari sunyi kepada keramaian. Tertinggal kepada kemajuan. Lama jadi ringkas. Sulit menjadi mudah.

Dan marilah kita melihat Holtekamp. Pantai ini terletak di daerah Muara Tami. Dipisah Teluk Youtefa dengan kota Jayapura. Inilah wilayah yang bersisian dengan Papua Nugini. Seperti wilayah tepi pantai lain di negeri ini, berbilang dekade kehidupan Holtekamp tak banyak beranjak. 


 

Lalu, lihatlah apa yang dilakukan Jokowi di situ. Pada hari ini. Di atas teluk itu melintang sebuah jembatan. Namanya Holtekamp. Dibangun Mei 2015. Rampung  Juli 2019. Panjang 732 meter. Lebar 21. Warna merah. Berbentuk antik. Ikon baru, yang membuat Jayapura kian permai di mata. Warna-warni lampu disekujur jembatan keliap di malam tiba.

Membenam uang 1,3 triliun rupiah, tentu saja Jokowi berpikir lebih dari sekedar  urusan lampu yang mengejab-ngejab itu. Dan, kepada kita yang menilai ini gagah-gagahan belaka, cobalah menyelam lebih dalam. Kepada rencana besar ini. Riuh ekonomi.

Dari kesunyian, daratan dua sisi perlahan ramai. Orang-orang datang. Menikmati keindahan jembatan. Swafoto. Disebarkan di media sosial. Kian memikat, lalu bisnis kecil akan berderap di situ.  Dari kesunyian, hari ini, Holtekamp bersalin rupa mejadi kecambah ekonomi.

Dan, tentu masih banyak. Kita sebut satu lagi saja. Mari memulai dengan cerita tentang Skow. Tapal batas dengan negeri seberang.  Berjarak  dua jam 30 menit  dari Jayapura. Tiga tahun silam, Jokowi membasuh kawasan itu. Dari gerbang  alakadar bertiang pancang tiga, menjadi  kawasan meriah berdagang.

Pasar moderen dibangun. Ratusan pedagang kita berjualan. Pembeli dari seberang. Barang kita lebih murah. Dijual lagi di negeri mereka. Saban hari sekitar tiga ratus pembeli datang. Borong barang kita.

Orang sebelah berbondong berlipat kali, jika ada hajatan. Pentas musik. Atau apa saja. Dan, mari mendengar cerita dari Mei lalu ini. Festival Crossborder Skow .Yang digelar tiga hari. Tanggal 9 hingga 11. Pelancong dari negeri seberang berjubel. Di rentang seribu hingga 1500 saban hari. Berjubel. Barang kita laku keras.

 

Begitulah Skow hari ini. Berpuluh tahun jadi titik terdidih, dalam mempertahankan Sabang hingga Merauke, kini menjelma menjadi “madu.” Madu bagi kita. Madu bagi negeri tetangga. Lintas batas itu seperti menemukan jalan perubahan. Dari kegentingan, menjadi urat nadi ekonomi.   

Dan inilah langkah berikut. Skow ini terbilang jauh dari Jayapura. Dari kota itu, barang dagangan harus meliuk di daratan teluk Youtefa. Dua jam 30 menit. Lama dan lelah.  Lalu datanglah jembatan itu. Membelah teluk. Durasi  terpangkas. Jadi 45 hingga 60 menit.

Gagah terlihat dari bukit dan laut, jembatan Holtekamp seperti jurubicara perubahan di kawasan itu.  Lama, sudah diringkas. Silahkan menghitung sendiri  berapa persen uang berhemat. Dan, membayangkan riuh bisnis di situ. Dan satu lagi, jembatan itu dirancang tahan gempa. Hingga seribu tahun. 

                                 ****

Di tepi timur itu, juga di sudut lain negeri maha luas ini, Jokowi banyak membasuh. Membangun dermaga. Lalu kapal merapat. Bangun bandara, lalu pesawat mendarat. Membangun jalan, lalu mobil melaju. Dan, barangkali dari sekian presiden seumur negeri kita, pada masa dialah, kita paling sering melafal kata;infrastuktur.

 

Kosa kata infrastuktur itu, seperti mantra  bagi perubahan. Bagi kemajuan. Dan, cobalah bertanya kepada para sopir truk. Berapa waktu yang diperlukan mengangkut barang.  Dari Bakauheni hingga Palembang. Dulu, dan, hari ini. Lalu silahkan mengira sendiri seberapa hemat. Kalau ingin lebai sedikit, seberapa banyak lelah menghilang.

Dan kita bicara tentang jalan tol. Yang melintas Sumatera. Dulu jalur ini ditempuh 12 jam. Dengan jarak 358 kilometer, kini cuma enam jam. Terpangkas hampir separuh. Rambu jalan. Juga lampu. Terpasang pada banyak titik. Ruas itu terang benderang.

Musim mudik tahun ini petugas bersiaga. Ada 18 mobil patroli. Sekitar 26 mobil derek. Sepuluh ambulans. Enam mobil rescue. Dan, sejumlah tempat pengisian bahan bakar pada setiap jarak. Hingga Palembang. Dan, Jokowi tidak berhenti di situ. Jalan tol itu akan bersambung hingga Aceh. Sepanjang 2.765 kilometer.

Apa untung jalan berkilo- kilo itu. Biaya logistik  jadi murah. Bisnis hidup. Pendapatan bagi daerah. Bacalah hitungan Kementerian Keuangan ini. Potensi penerimaan pajak sebesar Rp 2.690 triliun. Bilangan raksasa ini bisa diraup sejak 1918 hingga 1948. Sekitar 86 triliun tiap tahun.  Kok bisa sejumbo itu.

 

Rinci hitungan tentu ada. Tapi rumus, dan bilangan terlampau njelimet diramu di sini. Cobalah mendengar Ridho Ficardo, ketika dia menjadi gubernur Lampung. Daerah itu, kata dia, bersiap kebanjiran investasi. Dari industri. Juga parawisata.  

Rejeki dari investasi, juga parawisata itu, dinikmati sejumlah daerah dalam bentangan tol Trans Jawa. Para pemilik modal datang. Pabrik sepatu di Pemalang. Mereka juga masuk di Brebes, Kendal, Tegal, dan lain daerah. Posisi provinsi ini di tengah pulau Jawa, seksi bagi investor. Ekspor bisa lewat  Semarang, Jakarta, atau Surabaya. Tol sudah bersiap.

Dan Jokowi sudah berhitung. Sepanjang jalur ini bersemayam harta tersembunyi. Sejumlah 224 destinasi wisata. Jalan tol itu adalah pintu. Bagi investor, bagi pebisnis kecil. Selain di daerah pelancong, mereka juga dipersilahkan masuk rest area.

Dengarlah kata Budi Karya. Dia Menteri Perhubungan.  Sejak dirancang, begitu  katanya, Jokowi sudah memberi perintah. Pedagang kecil harus masuk rest area. Kasih mereka tempat. “Kalau ada kafe asing hanya satu dua. Sisanya kasih ke usaha kecil.” Ini perintah, sonder tawar menawar. Kerjakan.

 

Berbilang bulan kemudian Jokowi terjun ke lapangan. Memastikan eksekusi. Menelusuri tol Surabaya-Jakarta. Berhenti di rest area. Kilometer 597. Bersama istri bersantap di situ.  Menikmati makanan lokal, dari  berbagai daerah di Jawa Timur.

Kisah makan siang itu, diunggah ke media sosial. Dalam bentuk video. Jokowi mempromosikan Pecel Madiun. Roti Tjokro. Semangkuk Sate Ponorogo, yang didekatkan sang istri ke arah kamera. Dia memastikan, rest area harus diisi makanan lokal. Lalu sang presiden jadi endorser gretongan alias cuma-cuma. Promo gratis.

Video itu diunggah ke media sosial. Di instagram, ditonton hampir 1,7 juta kali. Delapan ribu orang memberi komentar. Ada yang sekedar berseloroh. Ada yang bilang ini pencitraan. Nyinyir juga ada. Tapi banyak yang memberi sanjungan dan bilang bahwa, “Jokowi adalah wajah baru Indonesia.”  

 

Jika kita rajin piknik ke banyak daerah, perubahan bukan sekedar membedak wajah jadi baru, jadi kemilau, tetapi menjadi generator ekonomi, bahkan hingga sekian dekade mendatang. Lihatlah Rotiklot. Ini di Nusa Tenggara Timur. Gagah berdiri bendungan penadah air. Memancuri beribu petak sawah, yang murung di bulan Juli.

Lalu, ruas tol membelah Sulawesi. Jalur meliuk di Kalimantan. Berbilang bandara baru ramai dihinggapi burung besi.  Jika catatan ini diteruskan, tulisan ini akan terlihat seperti katalog proyek raksasa.

Bukan hanya proyek menjulang, dan marilah kita mencermati bagaimana Jokowi menyundul nasib beribu pedagang kecil di seantero negeri ini. Sejumlah pasar dibangun. Yang sudah tua dibedaki. Penghujung  2018 sudah 4200 pasar. Hingga penutup 2019 ditargetkan 5200 pasar sudah kelar. Jumlah sebanyak itu, tentu membenam rupiah triliunan.

Cobalah membayangkan masa depan Sukowati. Sebuah pasar di daerah Gianyar. Memiliki segala hal yang pantas dikenang dari Bali, berjubel pelancong bergegas  ke situ. Berburu pernak-pernik.  Barang antik. Dan, menikmati topot, nasi tepeng, atau ayam betutu.  

 

Meski terlihat tua, dan tempat parkir sempit, sekian dekade Sukowati menjadi tungku api 1700 pedagang. Masa depan penjual sebanyak itulah yang dipikirkan Jokowi. Pasar dibedak lagi. Direvitalisasi. Jadi moderen agar pelancong kian ramai. Kian betah.

Dari mana duit membedaki Sukowati. Ya, dari urunan. Pusat merogoh 89 miliar. Daerah sekitar 3,9 miliar. Pasar akan jadi moderen. Bersih dan tertata. Dan, punya lahan parkir ruang bawah tanah. Segera dibangun, pasar ini rampung tahun depan.

Akhir pekan kedua Juni lalu, Jokowi berkunjung  ke situ. Berkemeja putih. Tiba pagi hari bersama istri. Warga pasar heboh. “Pak Jokowi, sini!” seru ibu-ibu penjual buah. Presiden dan Ibu Negara menghampir. Menyorong tangan, berjabat. Bersama  si penjual mereka terbahak. Lalu, nyonya negara membeli salak dan semangka.

Dari seorang Jokowi kita merekam, bangun pasar , juga infrastuktur, bukan saja mempertemukan kita dengan kemajuan, tapi juga mempertemukan senda gurau seorang rakyat dengan pemimpin. Orang kecil dan presiden bersama tergelak. Hingga berurai air mata. Juga mendengar keluh kesah. Mendengar bisikan.

Pertengahan  Desember 2018, Jokowi berdialog dengan seorang mama penjual di Pasar Sorong. Ini wilayah Provinsi Papua Barat. Dagang di situ, si mama bawa pulang 300 ribu sehari. Semula si mama terlihat kalem berkisah soal dagangan. Lalu, Presiden memberitahu bahwa Walikota akan memindahkan pasar ini.

Sontak suara si mama meledak. “Tidak mau,” jawabnya dengan suara tinggi seperti sedang berdemo. Ini pasar, lanjutnya, bagi seluruh orang Indonesia. Presiden serius menyimak. “Saya ini pelaku ekonomi. Saya pelaku pembangunan. Tau to? Saya minta Bapak Presiden turunkan dana bangun ini pasar jadi tiga lantai.” Ratusan penjual terbahak. Juga Presiden Jokowi. Lalu si mama mendekat ke Presiden. Berbisik.

Pada jaman Jokowi ini, perubahan tidak hanya terlihat pada jalan, jembatan, atau petak sawah yang hijau di musim kemarau, tapi juga kekuasaan yang turun dari singgasana. Begitu dekat. Dan biasa. Bahkan, si mama di Pasar Sorong itu lama berbisik di kuping presiden. Entah apa. Tapi, nyaris satu menit.  

 

(i/w)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From News Section