1. HOME
  2. FINANCE
DIGITAL

Nestapa Pinjaman Online

Utang online kian menjamur. Merayu saat meminjam, menakutkan saat menagih. Teliti sebelum pinjam. Banyak fintech yang benar dan bagus.

By Wens 12 Agustus 2019 12:33
Ilustrasi

Money.id - Masih ingat cerita karyawati yang difitnah, lantaran berutang online itu? Kisah sedih itu viral pekan lalu. Fotonya beredar di media sosial. Dengan keterangan yang membuat semua kita merasa miris. Bahwa dia siap melakukan apa saja demi melunasi utang. Rela digilir, asal utang terlunas.  

Kita tentu saja terkejut. Dan tentu saja, si mbak yang berutang itu, lebih daripada sekadar terkejut. Utang seberapa, yang membuat dia rela digilir segala. Merasa difitnah, dia kemudian melaporkan kasus ini ke polisi. Didamping aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Korban pinjaman online didampingi tim LBH (Foto: Faizal Abrori/Liputan6.com)

Wanita yang bekerja pada sebuah perusahaan garmen di Jawa Tengah itu, mengaku meminjam untuk keperluan yang sangat mendesak. Biaya sekolah anak. Tapi, dia sungguh tak menyangka bahwa gagal bayar bisa berujung nestapa. Polisi berjanji akan mengusut kasus ini hingga tuntas.

Bagaimana si mbak ini bisa begitu gampang terjerat utang? Pada zaman digital ini, memang banyak hal mudah terjadi. Termasuk berutang, meski mungkin tak pernah kita rencanakan.

Nomor ponsel kita, yang pada mulanya sangat private itu, mudah tersebar ke mana-mana. Entah bagaimana kisah perjalanan si nomor itu, yang jelas dia bisa jatuh ke tangan para tengkulak uang. Dari situlah, nomor handphone kita kemudian diserbu aneka rayuan.

Dari yang terlihat serius seperti ajakan investasi, hingga tawaran pinjaman dengan syarat semudah menjepret foto selfie, yang membuat kita merasa bahwa segenap kegundahan hidup akan segera berakhir. Bila tak teliti dan mudah tergoda,  kita sesungguhnya justru sedang memulai hidup yang gulana.

 

Rupa-rupa bentuk rayuan yang menyerbu. Butuh pinjaman karena dililit utang? Modal usaha? Proses cepat. Tak pakai agunan. Kalau berminat silahkan kirim pesan via Whatsapp. Lalu nomor mereka dicantumkan di situ. Jika tergoda, kita gampang menyambut.

Nestapa karyawati garmen di Jawa Tengah itu, juga bermula dari pesan singkat. Datang susul menyusul  ke ponselnya. Ada link yang disertakan dalam pesan singkat itu. Merasa bisa jadi solusi atas kesulitannya, link itupun dibuka. “Saya buka, dan mengikuti semua petunjuk,” katanya. Syarat ringan. Cuma pakai foto dan Kartu Tanda Penduduk.

 

Saat pinjaman jatuh tempo, dia belum sanggup membayar. Dan, semenjak saat itulah, begitu dia mengaku, panen hujatan dan makian, entah dari siapa. Dia menduga dari para pemberi pinjaman. Dan, teror tersadis adalah poster hoaks itu. Dengan tulisan, rela digilir demi melunasi utang.

***

Pasar pinjaman uang online, memang sedang meriah.  Seiring kian massifnya pemakaian smartphone, dan industri keuangan digital. Di Indonesia, banyak juga yang beroperasi secara resmi. Patuh pada ketentuan yang berlaku.

Financial technology, sohor dengan singkatannya Fintech, pada hakekatnya adalah bisnis keuangan dengan platform teknologi. Lewat teknologi digital, model konvensional industri perbankan yang harus bertatap muka atau cash, jadi lebih mudah. Lebih cepat, dan berhemat.

 

Lantaran menjadi lebih mudah, haruslah diakui bahwa fintech mempercepat proses demokratisasi di pasar keuangan. Masyarakat yang tadinya jauh dari akses perbankan, menjadi dekat oleh karena bisa dilakukan lewat smartphone di tangan.

Ada banyak model fintech ini. Setiap model berbeda jangka waktu, dan juga suku bunga. Model apapun, prinsip dasarnya sama: mempertemukan pemberi pinjaman dan para peminjam.

Dari sekian banyak model, kita bahas dua saja, yang dianggap paling sering diminati publik. Kita mulai dengan peer to peer lending. Sering disingkat P2P lending. Di sini kita bisa jadi peminjam. Juga bisa jadi pemberi pinjaman. Yang terakhir itu bahasa kerennya investor.

 

Mungkin tidak persis sama, dalam bahasa yang sederhana, model ini seperti ecommerce dalam pasar keuangan. Platform menjadi tempat bertemunya pembeli dan penjual, dengan cara yang ringkas. Meski tak pernah bersua. 

***

Ringkas, karena platform itu bisa memangkas rantai birokrasi  yang panjang seperti di pasar keuangan konvensional, yang membuat kita kadang lelah. Lantaran ringkas itu kita jadi suka. Pemerintah di sejumlah daerah juga suka. Aktif memacu penetrasi fintech peer to peer ini. Di Banyuwangi, misalnya, Bupati Abdullah Azwar Anas, mendorong kerjasama usaha kecil dengan sejumlah fintech.

Dengan cara ini, usaha kecil bisa mendapat modal. Bisnis bisa terus menyala dan berbiak. Sekaligus, “Mendukung penguatan ekosistem digital sesuai arahan presiden,” kata Anas beberapa waktu lalu.

 

Lantaran sangat membantu, model peer to peer lending itu pesat bertumbuh. Lihatlah data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berikut ini. Tahun 2017, sekitar Rp 2,56 triliun pinjaman tersalurkan. Dan tahun 2018 melejit ke 22,67 triliun. Naik lebih dari 700 persen. Fantastis memang.

Jumlah itu melonjak, lantaran jumlah peminjam meledak alias naik tajam. Dan meski tak setajam kenaikan jumlah peminjam, juga pemberi pinjaman atau investor tadi, juga naik signifikan. 

Kue bisnis yang terus melejit itu, membuat bisnis ini kian menggiurkan.  Jumlah finctech peer to peer lending juga terus bertambah. Dari data di situs OJK diketahui bahwa hingga Mei 2019 sejumlah 113 perusahaan terdaftar. Perusahaan yang terdaftar di OJK itu, lihat ditautan ini https://bit.ly/2KQqofO.

 

Mereka yang terdaftar di OJK itu, dinilai sudah memenuhi syarat. Resmi terdaftar. Nah, jika smartphone Anda sering diserbu rayuan peminjam,  sebaiknya teliti sebelum menggerakan jemari. Teliti  dulu apakah si penawar itu sudah terdaftar di OJK atau belum.

Lalu ada juga model fintech lending payday loan. Apa bedanya dengan peer to peer tadi itu. Nah, ini penting disimak. Perbedaan terbesar terletak pada sejumlah hal: suku bunga, jangka waktu, dan kecepatan. Fokuslah dulu di situ.

                        ****

Mari bicara suku bunga. Berapa suku bunga di peer to peer dan berapa di payday loan itu. Memang tidak ada ketentuan baku. Tapi sebelum pusing dengan suku bunga, kita sebaiknya memahami dulu sejumlah hal mendasar, yang membuat kita bisa bilang, “Betapa gampang pinjam di online.”

 

Proses pinjam di online ini tidak seribet di bank. Alias jauh lebih mudah. Tak perlu agunan. Tanpa perlu tatap muka. Cepat pula prosesnya. Si pemberi pinjaman, kadang hanya bermodal percaya bahwa kita memang sanggup melunas, dan mungkin plus berniat baik juga. 

Jadi, dengan sejumlah kemudahan itu, si fintech sesungguhnya memikul resiko. Sebab profil ekonomi kita kurang diketahui, sementara proses harus cepat, serta tanpa agunan pula. Resiko itulah yang membuat suku bunga mereka lebih tinggi dari pinjaman di bank konvensional.

Sampai di situ sudah paham? Kalau sudah, kita beranjak ke perbedaan suku bunga model peer to peer dengan payday loan. Model peer to peer lending itu berbunga lebih rendah. Berkisar di lima hingga 30 persen per tahun.

 

Sedang payday loan, karena pinjaman harian, bunga dihitung per hari. Sekitar 0,5 hingga 0,8 persen per hari. Atau 24 persen per bulan. Nyaris 300 persen setahun. Karena bunga harian, makin cepat kita melunasi, makin bagus.

Bagus buat fintech penyalur pinjaman, bagus juga buat kita. Sebab, duit yang dipinjamkan kepada kita  itu, bukan milik si fintech, tapi milik si pemberi pinjaman yang memakai platfrom yang sama dengan kita. Kepatuhan jadi kunci.

 

Soalnya kemudian, kalau kita gagal bayar. Lantaran bunga per hari, utang terus berbiak. Dan, kian repotlah hidup kita, bila dalam situasi gagal bayar, terpaksa meminjam di layanan lain demi membayar utang itu. Bila pinjaman yang terakhir itu berbunga lebih tinggi, hidup kita akan berpusing-pusing di lingkaran utang belaka.

 ***

Gagal bayar itulah yang terjadi dengan karyawati di Jawa Tengah itu. Dia pinjam sejuta rupiah. Tapi kok, cuma dikasih cuma Rp 650 ribu. Sisanya untuk biaya administrasi. Telat dua hari, dia mengaku sudah diancam. Dia merasa smartphonenya disadap.

Hingga kemudian fitnah jual diri itu beredar luas di media sosial. “Dengan ini saya menyatakan bahwa saya rela digilir seharga Rp 1.054.000 untuk melunasi utang saya.” Jagat dunia maya protes. Media massa meliput. Dan, pemerintah bicara.

 

Otoritas Jasa Keuangan mengecam pelecehan yang dilakukan fintech si pemberi pinjaman itu. Fintech, kata Tito Adji Siswantoro, Kepala Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Solo, tidak dibenarkan mengakses phonebook milik nasabah.  Kok, bisa obok-obok ranah pribadi.

Belakangan OJK kesulitan melacak alamat fintech pemberi pinjaman itu. Tidak ada alamat yang jelas, kata Tito, merupakah satu ciri fintech ilegal. Tidak ada pengurus. Kantor tak jelas. Nah..lho.

Polri bergerak cepat. Jumat, 2 Agustus 2019, menggelar konferensi pers. Menyebut enam kejahatan fintech ilegal. Yang semuanya bisa dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

 

Antara lain: penyadapan data, penyimpanan data pribadi, pengiriman gambar porno, pengancaman, manipulasi data, dan illegal access. Repotnya, jika fintech yang resmi dan terdaftar di OJK menaruh server di Indonesia, kebanyakan yang ilegal menaruh server di negeri seberang. Akibatnya, upaya pengendalian jadi tidak maksimal.

Sebaiknya memang kita teliti. Tidak meminjam di fintech ilegal. Toh banyak yang legal. Agar niat kita menyelesaikan masalah, tidak justru berakhir dengan nestapa.

 

(i/w)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From Finance Section