1. HOME
    2. DIGITAL
TAKSI ONLINE

Tuai Kontroversi, Begini Awal Mula Kisah Taksi Online di Indonesia

By Adhi 16 Maret 2016 16:23
GrabCar dan Uber

1. GrabCar

Pasca booming Go-Jek, Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi para penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi. Tak terkecuali bagi Grab (dahulu GrabTaxi), startup asal Malaysia yang mulai melebarkan sayapnya ke seluruh penjuru Asia Tenggara.

Grab pertama kali menjejakkan kaki di pasar Indonesia pada Juni 2014 dengan layanan GrabTaxi. Tidak ada masalah dengan layanan ini. Sebab, GrabTaxi hanya menjadi penyedia aplikasi yang menghubungkan antara konsumen dengan sopir taksi konvensional. Dengan kata lain, layanan ini mempermudah para sopir taksi konvensional untuk mencari penumpang.

Seiring dengan popularitasnya yang semakin meluas, pada 2015 GrabTaxi melakukan ekspansi dengan merilis layanan ojek online pesaing Go-Jek, yakni GrabBike. Layanan ini pun bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Sedikit kisruh dengan ojek pangkalan sama sekali tidak mengganggu operasional.

Dan pada Juni 2015, barulah GrabTaxi merilis GrabCar di Bali. Lalu, pada Agustus 2015, GrabCar juga hadir di Jakarta.

GrabCar merupakan layanan transportasi kendaraan roda empat berpelat hitam. Pada awal peluncurannya, pihak GrabTaxi mengklaim bahwa mereka telah memnuhi perihal legalitas.

Head of Country Manager Grab Indonesia, Kiki Rizki kala itu menerangkan bahwa layananya berbeda dengan Uber yang menggunakan mobil pribadi. GrabCar bekerjasama dengan penyedia jasa mobil rental dan telah melalui lisensi KIR transportasi.

Sesuai aturan dari Kementerian Perhubungan, kendaraan dengan nomor polisi plat hitam bisa beroperasi asalkan bekerja sama dengan perusahaan yang mempunyai legalitas resmi yang menyelenggarakan sarana transportasi.

Namun faktanya, kini legalitas GrabCar masih tetap dipertanyakan. Di lapangan, masih banyak pengemudi GrabCar yang memanfaatkan mobil pribadi mereka, bukan mobil rental yang 'katanya' sudah melalui lisensi KIR transportasi.

2. Uber

Uber bisa dibilang merupakan pionir di bisnis layanan transportasi online roda empat berpelat hitam. Perusahaan asal Amerika Serikat ini sudah beroperasi di 57 negara di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia sendiri Uber mulai masuk pada Agustus 2014.

Akan tetapi, eksistensi Uber di sejumlah negara (tak hanya di Indonesia) kerap menundang kontroversi dan kecaman dari para penyedia jasa layanan taksi reguler. Bahkan, di Perancis dan Meksiko, hampir selalu terjadi kerusuhan saat digelar demonstrasi menentang Uber.

Di Jakarta, Pemkot DKI Jakarta beserta Organda pun melarang peredaran Uber. Ditlantas Polda Metro Jaya, petugas Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta, dan anggota Satpol Pamong Praja Pemprov DKI Jakarta bahkan sampai membuat satuan tugas (satgas) khusus untuk memburu mobil taksi Uber dan mobile omprengan berplat hitam lainnya.

Selain dilarang oleh otoritas, Uber awalnya juga kurang populer di Indonesia karena hanya menerima pembayaran melalui kartu kredit.

Namun begitu, Uber pada 2015 mulai berbenah diri di Indonesia. Mereka mengklaim telah berkordinasi dan mengajukan izin penanaman modal asing (PMA) ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk membangun badan hukum di Indonesia.

Malah, mereka juga telah meresmikan kantor di Indonesia yang berlokasi di Gedung Plaza UOB lantai 34 di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada akhir 2015.

Tak cukup sampai di situ, guna menarik minat konsumen tanah air, Uber pun kini mengakomdasi pembayaran tunai dan kartu debit.

Akan tetapi, sama seperti GrabCar, usaha Uber untuk berbenah dinilai belum maksimal. Sebab, armada mereka tetap saja masih menggunakan mobil pribadi berpelat hitam. Dan hal inilah yang kini menjadi permasalah utama yang membuat mereka teracam diblokir pemerintah.

(a/a)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From Digital Section