1. HOME
  2. NEWS
JOKOWI

Menguak Jasa Broker, Lumrahkah Digunakan di Indonesia?

Indonesia pernah menggunakan jasa broker atau lobbyist saat kasus Timor Timur mencuat tahun 1999.

By Dwifantya Aquina 11 November 2015 18:03
Presiden Joko Widodo bersama Presiden AS Barack Obama (Setkab.go.id)

Money.id - Berita soal broker pertemuan Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama menggegerkan tanah air. Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London adalah sosok yang mengungkap skandal tersebut.

Dalam artikel berjudul "Waiting In The White House Lobby", ia menyebut bahwa Pemerintah RI meminta konsultan Singapura untuk melobi agar mendapat akses ke Washington. Perusahaan konsultan Singapura itu bernama Pereira International Pte LTD. Adapun perusahaan PR asal Las Vegas adalah R&R Partner's Inc.

Buehler menyebut, dana yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk menyewa lobyist itu mencapai US$80 ribu atau setara dengan Rp1,08 miliar. Pihak broker mengatur beberapa pertemuan, termasuk pertemuan antara Jokowi dan Obama yang berlangsung selama 80 menit.

Baca: Terkuak! Dokumen Asli Broker Pertemuan Jokowi-Obama

Sejauh mana kebenaran dokumen yang dibeberkan Buehler itu?

Menurut Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, Buehler salah mengartikan isi dokumen yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehakiman AS itu. Sebab, dokumen tersebut sama sekali tidak menyebut pihak Pemerintah RI.

"Yang pasti Buehler salah, karena Pemerintah Indonesia tidak pernah membayar apapun untuk mengatur sejumlah pertemuan di AS. Dalam dokumen itu tidak ada satu katapun yang merujuk pada Pemerintah Indonesia," kata Hikmahanto saat berbincang dengan Money.id, Rabu 11 November 2015.

Selain itu, lanjut Hikmahanto, dokumen itu tidak menyebutkan adanya hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan konsultan AS yang diduga bisa melobi pemerintah AS agar bertemu dengan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Namun, Michael Buehler sebagai penulis artikel telah menyimpulkan dokumen ini seolah atas permintaan pemerintah Indonesia.

"Padahal bisa saja Pareira International Pte Ltd disewa oleh pebisnis Indonesia," ujarnya.

Ia pun mengungkap, terkait rujukan terkait ruang lingkup kerja dari lobbyist (yang disebut dalam perjanjian sebagai konsultan) tidak merujuk pada pertemuan Presiden RI dengan Presiden AS. Sebab, norma diplomasi antarnegara sendiri, menurut Hikmahanto, tidak mengenal broker untuk mempertemukan kepala pemerintahan dan kepala negara.

Sedangkan di AS, menurut Hikmahanto, penggunaan broker atau lobbyist sah-sah saja. Sebab sistem politik di AS memang menggunakan lobi.

"Kalau di AS itu biasa, ada sekitar 12 ribuan lobbyist di kongres. Tapi tujuannya bukan untuk mengatur pertemuan pihak-pihak tertentu. Misalnya, ada pelaku bisnis, ada satu legislasi yang merugikan kepentingan dia, dia gunakan lobbyist itu. Di Amerika itu harus didaftarkan. Biasanya para lobbyist itu dari law firm, karena yang paling meyakinkan argumentasinya itu lawyers," paparnya.

Sedangkan di Indonesia, lanjutnya, pemerintah pernah beberapa kali menggunakan lobbyist, namun tujuannya untuk diplomasi. Seperti pada saat isu Timor Timur marak. Menteri Luar Negeri kala itu menggunakan lobbyist untuk berkomunikasi dengan PBB dan beberapa pihak lainnya.

"Fungsinya untuk membangun komunikasi, bukan mengatur pertemuan," tegasnya.

Jasa Broker Lumrah Digunakan?

Menurut data Foreign Agents Registration Act (FARA), Indonesia sudah menggunakan jasa pelobi sejak 1947 hingga 2015.

Setidaknya ada 107 entitas Indonesia, baik pemerintah pusat, pihak swasta, pemerintah provinsi, individu, bahkan beberapa tokoh politik di Indonesia, yang menggunakan jasa pelobi dengan tujuan berbeda.

Jika demikian, apakah penggunaan jasa pelobi sudah lumrah?

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Washington DC Dino Patti Djalal, seperti dikutip dari Rappler, menyatakan hal tersebut memang telah lumrah dilakukan.

Dino mengaku tidak kaget dengan data yang dibeberkan FARA. Indonesia memang sudah menggunakan jasa pelobi sejak era setelah kemerdekaan.

"Tapi saya tidak ingat jumlahnya," katanya. Menurut Dino, bukan sesuatu yang luar biasa juga bagi kedutaan untuk memakai jasa pelobi.

Menurutnya, keputusan untuk menggunakan jasa pelobi tergantung dari kebijakan masing-masing era pemerintahan. Biasanya, pertimbangannya adalah apakah ada nilai tambah atau tidak.

Namun kata Dino, saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kedutaan Besar RI di Washington DC tak pernah menggunakan jasa pelobi.

(da)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From News Section