1. HOME
  2. FINANCE
HARGA MINYAK

Kepala SKK Migas: Harga Gas Indonesia Mahal karena Ada Markup

Harga yang di-markup ini dimasukkan ke komponen cost recovery, lalu kemudian harga jual dinaikkan karena kontraktor tidak mau rugi.

By Desy Afrianti 1 Juli 2016 17:45
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi/Bareksa.com

Money.id - Pemerintahan Jokowi sedang berupaya menurunkan harga gas industri di Indonesia yang saat ini dianggap kemahalan. Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, harga gas industri di Indonesia masih dinilai kelewat mahal.

Salah satu langkahnya, Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden No. 40/2016; disusul dengan Peraturan Menteri ESDM No. 16/2016 yang menjabarkan teknis pengaturan harga gas untuk tujuh industri prioritas.

Untuk mengetahui lebih dalam soal ini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi akan menjelaskannya secara gamblang lewat wawancara khusus. Sebagaimana diketahui, harga gas di wilayah hulu merupakan domain SKK Migas sebagai regulator produsen dan kontraktor migas.

Sebelum menjabat sebagai Kepala SKK Migas, Amien merupakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi di awal kelahirannya (2003-07) dan merupakan salah satu arsitek utama pendirian lembaga anti rasuah ini. Berikut petikan wawancara dengan auditor kelahiran Malang, 23 Januari 1960 ini.

Dengan adanya Perpres 40/2016 ini apakah kontrak antara SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas akan berubah?

Tidak, perjanjian kontrak antar SKK Migas dengan KKKS tidak berubah. Berdasarkan perjanjian itu, ada penerimaan negara atau hasil bagian negara dan ada bagian kontraktor. Bagian kontraktor itu dijaga, tidak akan berkurang sedikit pun.

Kalau di awal KKKS terima $10 juta, nanti akan tetap sebesar itu. Namun, penerimaan bagian negara bisa berkurang. Kenapa? Karena harga jualnya diturunkan.

Apa sebetulnya yang menyebabkan harga gas di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara-negara lain, khususnya Malaysia? Di Indonesia sekarang sekitar $9-11/MMBTU, tapi di Malaysia cuma $4/MMBTU.

Ada faktor hulu, ada faktor di midstream, bisa juga faktor distribusi yang menjadikan harga mahal. Misalnya, di hulu yang menjadi domain saya. Bisa jadi di Indonesia gas mahal karena waktu yang diperlukan lebih panjang.

Barangkali di Malaysia menyewa rig seminggu sudah bisa langsung mengebor. Kalau di Indonesia, menyewa seminggu belum tentu bisa langsung mengebor. Jalannya masih dipalang oleh warga lokal.

Ini harus diselesaikan dulu, keluar uang lagi. Kemudian rig jalan lagi, masih belum bisa mengebor juga, karena pembebasan lahan ternyata masih ada masalah. Perlu waktu lagi, perlu uang lagi.

Lalu setelah rig terpasang, masih juga belum bisa mengebor karena izinnya masih bermasalah. Nah, padahal sewa rig harus terus dibayar. Ini yang menjadikan harga di Indonesia lebih mahal.

Perizinan kan di bawah kendali pemerintah. Kebijakan deregulasi belum efektif?

Nanti dulu. Ini kita bicara pemerintah yang mana? Ada pemerintah pusat, ada pemerintah daerah. Oke, dikatakan pemerintah pusat harus cepat… nanti dulu… ini kita bicara pemerintah pusat yang mana? Hehehe… Ada Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, dan lainnya.

Kalau menyangkut lahan, misalnya, rumit sekali urusannya. Persoalan izin begitu panjang dan berbelit sekarang, berbeda dengan zaman Orde Baru. Zaman Orba dulu, kalau diputuskan butuh migas, prosesnya bisa langsung cepat. Sekarang tidak bisa begitu.

Ditambah lagi—ini masalah utama yang sedang saya coba atasi—transaksi pengadaan di hulu ada banyak markup. Harga yang di-markup ini dimasukkan ke komponen cost recovery, lalu kemudian harga jual dinaikkan karena kontraktor tidak mau rugi. Markup ini yang harus dihilangkan.

Di Malaysia, saya kira sogok-menyogok di area ini tidak separah di Indonesia, karena itu harga gas mereka bisa lebih murah.

Berapa persen biasanya markup itu?

Lihata jawaban pertanyaan di atas dan petikan wawancara selengkapnya di sini

(da)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From Finance Section