1. HOME
  2. FASHION-BIZ
FASHION

Barang Tiruan dari Label Fashion Ternama Marak di Media Sosial

Duplikasi atau barang tiruan bukan hanya menghancurkan kreativitas tapi juga meremehkan industri fashion.

By Dian Rosalina 16 Maret 2016 17:05
Ilustrasi Label Fashion Ternama (Cult Noise Magazine)

Money.id - Mode busana di dunia terus berputar kembali ke awal. Namun beberapa model pakaian juga berkembang dengan dinamis. Tapi tidak bisa terelakan jika fashion sangat berkaitan dengan isu copycat atau peniru.

Semakin majunya dunia digital dan maraknya orang-orang yang mengupload foto-foto gaya penampilannya dengan menggunakan brand ternama setiap hari, membuat isu peniru semakin sering beredar.

Dikutip dari Mashable, Rabu 16 Maret 2016, Direktur Fashion Law Institute at Fordham Law, Susan Scafidi mengatakan orang berusaha mendesain gaya terbaru untuk label mereka terus bekerja, namun karyanya ditiru dan tidak dihargai. Tidakan copycat bukan hanya sekedar isu, tapi menciptakan perubahan nyata.

Misalnya, merek terbaru dari desainer indie yang bernama Staud. Dalam beberapa minggu terakhir, media sosial membuat isu bahwa karyanya memiliki kesamaan dengan merek lain.

"Sudah jelas apa yang mereka lakukan. Tindakan tersebut sangat mengecewakan untuk para desainer baru," ujar pendiri Staud, Sarah Studinger.

Ia pun akhirnya tidak bisa berbuat banyak dengan copycat karyanya tersebut. Karena undang-undang di Amerika Serikat belum bisa melindungi desainer dari para pengguna media sosial.

Ini tidak hanya terjadi pada desainer baru saja. Label mewah sekelas Balmain pun karyanya disalin sepanjang waktu.

Pada tahun lalu, dalam ajang Billboard Music Awards, pedagang online Gal Nasty mengaku Jumpsuit Putih yang dikenakan oleh Taylor Swift adalah yang terbaik saat itu. Namun ternyata pakaian tersebut bukan asli karyanyam melainkan asli dari rumah mode Paris Balmain.

Perusahaan yang berbasis di Los Angeles sadar dan merasa malu karena ternyata mereka menduplikasi hasil karya merek ternama. Tak berapa lama isu itu beredar, Gal Nasty tidak lagi beredar di media sosial.

Tapi merek tersebut memang bersalah. Apalagi ia juga bergabung dengan jajaran pengecer lain seperti Topshop, H&M, dan Forever 21.

Duplikasi yang semakin marak, sebenarnya karena muncul media sosial dan looksbook sesaat setelah diposting. Tidak mengherankan ada beberapa reaksi terkejut terhadap pameran fotografi, sebab dengan foto resolusi tinggi, desainer pun dengan mudah meniru gaya dan penampilan tertentu.

Menghancurkan Kreativitas

Direktur Fashion InStyle, Eric Wilson mengatakan duplikasi atau barang tiruan bukan hanya menghancurkan kreativitas tapi juga meremehkan industri fashion. Konsumen mendapatkan manfaat kecepatan mode dari pengecer namun desainer lain tidak dapat keuntungan dari hal tersebut.

"Industri fashion menghasilkan uang yang tidak sedikit. Ditambah dengan adanya copycat, hal tersebut membuat beberapa pelaku merugi," ujarnya.

Menurut sebuah studi World Trademark Review, barang tiruan di pasar mencapai keuntungan US$600 miliar per tahun atau sekitar 7 persen dari perdagangan global. Alasan banyaknya barang tiruan antara lain karena tidak adanya undang-undang Amerika Serikat yang melindungi kekayaan intelektual dalam mode.

Selama bertahun-tahun kantor hak cipta Amerika menganggap busana hanyalah kain yang menutup tubuh. Namun berbeda jika hal tersebut adalah perhiasan.

"Sekarang kami memiliki media sosial, merek-merek yang meniru tersebut tidak bisa dibiarkan saja. Mereka harus bertanggung jawab, harus!" ujar Scafidi. (dwq)

(dr/dr)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From Fashion-Biz Section