1. HOME
    2. DIGITAL
TEKNOLOGI

Nestapa Pinjaman Online

By Syahid Latif 10 September 2019 17:05
Nestapa Saat Gagal Bayar

Mari bicara suku bunga. Berapa suku bunga di peer to peer dan berapa di payday loan itu. Memang tidak ada ketentuan baku. Tapi sebelum pusing dengan suku bunga, kita sebaiknya memahami dulu sejumlah hal mendasar, yang membuat kita bisa bilang, “Betapa gampang pinjam di online.”

Proses pinjam di online ini tidak seribet di bank. Alias jauh lebih mudah. Tak perlu agunan. Tanpa perlu tatap muka. Cepat pula prosesnya. Si pemberi pinjaman, kadang hanya bermodal percaya bahwa kita memang sanggup melunas, dan mungkin plus berniat baik juga.

Jadi, dengan sejumlah kemudahan itu, si fintech sesungguhnya memikul resiko. Sebab profil ekonomi kita kurang diketahui, sementara proses harus cepat, serta tanpa agunan pula. Resiko itulah yang membuat suku bunga mereka lebih tinggi dari pinjaman di bank konvensional.

Sampai di situ sudah paham? Kalau sudah, kita beranjak ke perbedaan suku bunga model peer to peer dengan payday loan. Model peer to peer lending itu berbunga lebih rendah. Berkisar di lima hingga 30 persen per tahun. Sedang payday loan, karena pinjaman harian, bunga dihitung per hari. Sekitar 0,5 hingga 0,8 persen per hari. Atau 24 persen per bulan. Nyaris 300 persen setahun. Karena bunga harian, makin cepat kita melunasi, makin bagus.

Bagus buat fintech penyalur pinjaman, bagus juga buat kita. Sebab, duit yang dipinjamkan kepada kita itu, bukan milik si fintech, tapi milik si pemberi pinjaman yang memakai platfrom yang sama dengan kita. Kepatuhan jadi kunci. Soalnya kemudian, kalau kita gagal bayar. Lantaran bunga per hari, utang terus berbiak. Dan, kian repotlah hidup kita, bila dalam situasi gagal bayar, terpaksa meminjam di layanan lain demi membayar utang itu. Bila pinjaman yang terakhir itu berbunga lebih tinggi, hidup kita akan berpusing-pusing di lingkaran utang belaka.

Gagal bayar itulah yang terjadi dengan karyawati di Jawa Tengah itu. Dia pinjam sejuta rupiah. Tapi kok, cuma dikasih cuma Rp 650 ribu. Sisanya untuk biaya administrasi. Telat dua hari, dia mengaku sudah diancam. Dia merasa smartphonenya disadap.

Hingga kemudian fitnah jual diri itu beredar luas di media sosial. “Dengan ini saya menyatakan bahwa saya rela digilir seharga Rp 1.054.000 untuk melunasi utang saya.” Jagat dunia maya protes. Media massa meliput. Dan, pemerintah bicara. Otoritas Jasa Keuangan mengecam pelecehan yang dilakukan fintech si pemberi pinjaman itu. Fintech, kata Tito Adji Siswantoro, Kepala Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Solo, tidak dibenarkan mengakses phonebook milik nasabah. Kok, bisa obok-obok ranah pribadi. Belakangan OJK kesulitan melacak alamat fintech pemberi pinjaman itu. Tidak ada alamat yang jelas, kata Tito, merupakah satu ciri fintech ilegal. Tidak ada pengurus. Kantor tak jelas. Nah..lho.

Polri bergerak cepat. Jumat, 2 Agustus 2019, menggelar konferensi pers. Menyebut enam kejahatan fintech ilegal. Yang semuanya bisa dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Antara lain: penyadapan data, penyimpanan data pribadi, pengiriman gambar porno, pengancaman, manipulasi data, dan illegal access. Repotnya, jika fintech yang resmi dan terdaftar di OJK menaruh server di Indonesia, kebanyakan yang ilegal menaruh server di negeri seberang. Akibatnya, upaya pengendalian jadi tidak maksimal.

Sebaiknya memang kita teliti. Tidak meminjam di fintech ilegal. Toh banyak yang legal. Agar niat kita menyelesaikan masalah, tidak justru berakhir dengan nestapa.

(s/sl)

Related

Komentar

Recommended

What Next

More From Digital Section